top of page

Wahyu sebagai komunikasi Interpesonal Allah

Diperbarui: 19 Apr 2019



Bicara mengenai wahyu dan iman dalam tradisi Katolik, maka kata kunci utama yang digunakan adalah komunikasi. Dengan istilah ini, hendak ditunjukkan adanya relasi dan tindakan saling menyapa antara minimal dua pihak. Ada yang berinisiatif dan ada yang menanggapi. Komunikasi ini menjadi berjalan apabila ada pemahaman akan maksud dan isi yang disampaikan. Inilah syarat utama munculnya relasi tersebut, bukan pertama-tama masalah bahasa: karena bahasa itu sendiri sangat terbatas pada ruang dan waktu tertentu; melainkan pada relasi antara dua pihak yang saling memahami tentang hal yang dikomunikasikan.


Dalam konteks wahyu-iman, terlihat sejumlah unsur dari komunikasi tersebut, yaitu adanya dua pihak yang saling berelasi, Allah dengan manusia. Pihak yang mengambil inisiatif adalah Allah dan pihak yang menanggapi adalah manusia. Inisiatif komunikasi Allah tersebut diwujudkan dalam perlbagai rupa dan melalui pelbagai cara hingga akhirnya Ia mengutus Yesus Kristus, PuteraNyasendiri. Berbeda dengan komunikasi antara dua orang manusia, komunikasi antara Allah-manusia itu berada dalam tataran yang berbeda: Allah dalam realitas ilahi yang tak kasat mata, sedangkan manusia berada dalam tataran duniawi yang indrawi. Maka untuk dapat mengenal apa yang dikomunikasikan, manusia menggunakan kemampuan-kemampuan rohaninya sehingga dapat mengenal Allah.


Melihat relasi antara Allah dengan manusia, kita dapat mengatakan bahwa Allah-lah yang menjadi subyek wahyu. Ada gerakan dari pihak Allah: dari keadaannya yang tidak terdeteksi oleh manusia, kini Allah keluar menyatakan diri dan kehendakNya menyelamatkan manusia. Allah yang semula “diam”,kini“berbicara” pada manusia. Mengapa Allah berbuat demikian? Mengapa Allah kini menyatakan dirinya pada manusia? Apa tujuan tindakanNya tersebut? Konstitusi Dogmatis Dei Verbum art 2 mengungkapkan motivasi Allah untuk berkomunikasi dengan manusia adalah karena “kebaikan dan kebijaksanaanNya”. Maka motivasi tersebut digerakkan oleh kebebasan dan cinta Allah sendiri bagi manusia, bukan karena hal lain. Allah tidak memberikan diriNya karena digerakkan oleh manusia yang berdosa, melainkan karena kehendak Allah untuk bersekutu dengan manusia dan menyapa mereka sebagai sahabatNya (Dei Verbum art.2). Dalam hal inilah menjadi jelas bahwa pewahyuan berhubungan erat dengan keselamatan yang direncanakan Allah bagi manusia.



RD. Angga Sri Prasetyo

bottom of page