
Beberapa waktu lalu, terdapat pernyataan di Koran Tempo bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang ‘sakit’. Pernyataan serupa juga muncul di Koran Kompas yang menyebutkan bahwa manusia Indonesia saat ini kehilangan hati nurani. Di dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa penyebab manusia kehilangan hati nurani adalah pengalaman ketidakadilan, hilangnya rasa aman, serta munculnya rasa cemas yang berlebihan dalam diri masyarakat Indonesia atas ketidakpastian mengenai nasib mereka di masa mendatang. Hal-hal inilah yang membuat masyarakat menjadi stres, bahkan depresi.
Namun, mungkinkah hati nurani itu hilang? Seperti yang kita ketahui, hati nurani dapat kita katakan sebagai suara Tuhan yang tinggal dalam diri manusia. Bagi saya, hati nurani tak pernah hilang. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa hati nurani mengalami ketumpulan karena manusia tak lagi mampu mengasahnya. Ada dua hal yang menyebabkan tumpulnya hati nurani, yaitu lingkungan yang tidak sehat dan ketidakmampuan manusia untuk mengasahnya.
Bila hati nurani berkaitan erat dengan suara Tuhan sendiri yang selalu mengarahkan pada hal yang baik, maka seharusnya manusia selalu mengarahkan hidupnya pada kebaikan. Bagi saya, tumpulnya hati nurani merupakan gejala semakin redupnya atau bahkan hilangnya secara simultan relasi yang mendalam antara manusia dengan Yang Ilahi. Redupnya relasi itu membuat manusia tak lagi memiliki harapan, mudah depresi, mudah cemas, mudah takut dalam menghadapi situasi ketidakadilan.
Yesus hadir ke dunia untuk mewartakan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah berarti Allah yang meraja, di mana manusia sungguh mengalami keadilan, kesejahteraan dan kebaikan bersama. Dalam hidupnya, Yesus selalu mewartakan Kerajaan Allah dengan menghadirkan kasih Allah yang membebaskan manusia dari segala belenggu yang membuat manusia mengalami ketidakadilan. Maka, dapat kita katakan bahwa Ia senantiasa membongkar ketidakadilan yang membuat manusia menjadi tertindas.
KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga (GS 1). Tugas perutusan Putera itu dilanjutkan Gereja dalam Roh Kudus yang selalu mendampingi umat-Nya. Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus memiliki kewajiban untuk mewartakan Kerajaan Allah. Artinya, Gereja harus berani bersuara lantang terhadap ketidakadilan yang membelenggu dan menindas manusia sehingga Gereja mampu memberikan kegembiraan dan harapan bagi mereka yang tertindas. Dengan begitu, mereka yang tumpul hati nuraninya, dapat kembali merasakan pengalaman dasar mereka bersama dengan Allah melalui Gereja sehingga menjadi pribadi yang utuh.
Secara sistematis, dapat saya katakan demikian: kecemasan yang disebabkan oleh tumpulnya hati nurani sebagai ‘tempat’ di mana Allah terus berbicara kepada manusia, memiliki akar pada situasi ketidakadilan yang dialami manusia. Untuk itu, kita perlu mewujudkan keadilan sosial; dan kembali masuk ke dalam pengalaman relasional dengan Allah, sehingga hati nurani pun semakin ‘tajam’. Sebagai murid Kristus, kita memiliki tugas untuk mewartakan Kerajaan Allah, dalam arti mewujudkan keadilan sosial sehingga manusia kembali memiliki kegembiraan dan harapan dalam Kristus.
RD. Angga Sri Prasetyo
Comments