top of page

Setitik Kebahagiaan Sebagai Awal Kekudusan



Mengapa bahagia itu diperlukan dalam hidup? Supaya awet muda? Atau supaya mudah untuk bersyukur? Namun, kadang banyak orang kesulitan menemukan sepercik kebahagiaan. Mungkin kurang berkesan atau kita nya yang kurang waktu untuk mensyukurinya. Beberapa hari yang lalu, pastoran mendapatkan kiriman makanan, yaitu barapen (bakar batu) ayam. Bukan soal kiriman ayamnya, melainkan apa yang ada dibalik kiriman barapen ayam itu. Barapen ayam ini adalah hasil pelajaran muatan lokal anak-anak di sekolah. Artinya, dibalik itu anak-anak senantiasa diperkenalkan dan dibiasakan untuk menghidupi kebudayaan lokalnya. Bagi anak-anak yang mengenal kompor pasti lebih mudah menggunakan kompor untuk memasak dan kurang memamahi bagaimana budaya barapen ini. Inilah suatu kebahagiaan.


Bacaan-bacaan minggu ini dipenuhi dengan nuansa kegembiraan. Di tengah masa pertobatan ini, terselip percik kebahagiaan. Lalu mengapa? Bacaan pertama menceritakan bagaimana Bangsa Israel mulai menikmati janji Tuhan, yaitu tinggal di tanah terjanji dan menghidupi dirinya lewat hasil usaha mereka di tanah terjanji. Setelah perjalanan panjang keluar dari Mesir, kini mereka menikmati kehidupannya sendiri. Kegembiraan yang konkret mereka lihat dari hasil bumi yang mereka nikmat. Suatu percik kebahagiaan dalam perjalanan iman mereka.


Bacaan Injil mengisahkan bagaimana Bapa yang baik menerima kembali putra-putranya yang menjauhkan diri darinya. Si bungsu meminta harta bagiannya, meninggalkan rumah dan hidup dalam kemewahan. Si bungsu telah memisahkan diri dari ayahnya dengan mengambil wairsan sebelum kematian ayahnya. Si sulung pulang dengan rasa kecewa, tidak mau masuk ke dalam rumah dan menolak berjumpa dengan saudaranya. Si sulung telah memisahkan dirinya dengan menganggap bahwa kedekatan dengan bapanya tidak pernah dihargai. Bapa ini kehilangan kedua anaknya tetapi apa yang dilakukannya. Kepada keduanya, dia melakukan hal yang sama, yaitu keluar dari rumah, menjemput anaknya dan merangkul kembali dengan caranya masing-masing. Mengapa demikian? Inilah percik kebahagiaan seorang bapa, yaitu berjumpa dan berkumpul dengan anak-anak yang dicintainya. Satu hal yang menarik dari bacaan-bacaan minggu ini, percik kebahagiaan ternyata memberikan sukacita bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.


Kita diperkenalkan bahwa percik kebahagiaan. Percikan itu kecil tetapi menggema bagi yang mengalami dan tertular kepada orang di sekitarnya. Mengapa percikan kebahagiaan itu penting? Merenungkan pesan Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate, kebahagiaan menjadi langkah awal menuju kekudusan. Jalan menuju kekudusan tidak dimulai dengan rasa takut atau tertekan tetapi didorong oleh karena pengalaman kebahagiaan. Kedua anak yang hilang tidak datang dengan rasa takut. Rasa takut ada karena kesalahan yang pernah dibuat. Namun, yang menggerakkan mereka berani masuk ke rumah adalah karena mereka pernah mengalami kebahagiaan dalam kebersamaan dengan sang Bapa. Inilah pentingnya kebahagiaan, yaitu sebagai modal awal bagi kita semua menapaki jalan pertobatan menuju kekudusan.


Ada tiga hal penting yang baik untuk dihidupkan mengingat kebahagiaan kadang kala sulit ditemukan, atau perciknya yang kecil menjadi tidak tampak, karena berbagai tantangan hidup, pergumulan dengan masalah serta kejatuhan berulang kali di dalam dosa. Tiga hal yang disampaikan Paus Fransiskus adalah berdaya tahan, sabar dan lemah lembut. Berdaya tahan berarti tetap berpegang pada komitmen untuk setia bersama Tuhan. Sabar berarti bertekun dalam proses yang tidak satu-dua kali langsung jadi. Lemah lembut berarti berani menghadapi berbagai tantanga, tegas dalam prinsip sekaligus fleksibel dalam konteks hidup.


Ketiganya saling berkaitan dan saling mendukung. Demikianlah kebahagiaan atau kegembiraan menjadi modal awal bersama melangkah pada jalan pertobatan ini. Semua yang diawali dengan kegembiraan meringankan beban perjalanan yang masih panjang ini. Pertanyaannya, pengalaman-pengalaman keseharian apakah yang menampakkan percikan kebahagiaan atau kegembiraan itu bagiku?




Rm. Ambrosius Lolong, Pr

Paroki Maria Menerima Kabar Gembira

Bomomani, Papua

bottom of page