top of page

Palma: Semangat Pemberian Tanpa Batas

Diperbarui: 11 Mei 2019


Foto: Komsos/ Dimmas

Tidak terasa bahwa saya sudah tinggal di Bomomani selama tiga bulan. Ada banyak pengalaman-pengalaman sederhana bersama umat yang menjadi peluang bagiku untuk merenungkan kekayaan firman Tuhan sesuai konteks di sini. Salah satu yang kuamati adalah beberapa kali orang tua datang ke pastoran meminta bantuan kepada para romo untuk mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang studi, baik di Nabira, Jayapura maupun di Jakarta. Jumlahnya juga lumayan cukup banyak, mulai ratusan ribu sampai jutaan. Tentu ini menggelitik untuk direnungkan, apakah mereka sebagai orang tua sungguh ikhlas mengirimkan uang banyak bagi anaknya yang sedang studi? Padahal belum tentu mereka memberikan uang jajan untuk anak-anak yang masih tinggal bersama mereka. Sekilas tiap orang tua pasti menjawab dengan tegas ikhlas. Tapi, kalau didalami lebih mendalam, apa yang membuat setiap orang tua sungguh ikhlas memberikan hasil kerjanya untuk anak-anak mereka? Apakah keikhlasan tersebut hanya terbatas pada tanggung jawab sebagai orang tua saja?


Minggu palma ini kita mendengarkan dua injil. Injil pertama adalah mengenai Yesus yang memasuki Yerusalem menggunakan keledai. Dia disambut sebagai raja Israel. Yesus tidak pernah mengatakan secara eksplisit bahwa diri-Nya adalah seorang Raja tapi kini dia diperlakukan bagaikan seorang raja yang telah lama dinantikan. Tapi apakah benar bahwa Yesus tidak memaklumkan diri-Nya sebagai raja? Saya rasa tentu tidak. Secara implisit Yesus menunjukkan diri-Nya adalah raja. Dalam Injil, kapankah Yesus pernah naik keledai? Hanya dua kali Yesus naik keledai, yaitu ketika mengungsi ke Mesir dan memasuki Yerusalem. Tentu kita masih ingat atau bisa membuka kembali kisah yang melatarbelakangi mengapa Yesus mesti mengungsi ke Mesir. Silakan dicermati, Yesus harus mengungsi ke Mesir bersama keluarganya. Menurut tradisi, mereka menggunakan keledai sebagai transportasi yang mungkin digunakan. Hal ini harus dilakukan karena Herodes hendak membunuh bayi Yesus yang dikatakan Orang Majus sebagai Raja. Yesus, Raja yang baru lahir, pergi ke Mesir dengan menggunakan keledai. Hari ini, Dia memasuki Yerusalem menggunakan keledai. Dalam permenungan saya, keledai menjadi tanda pemakluman diri Yesus yang implisit bahwa diri-Nya adalah seorang Raja.

Bacaan Injil yang kedua adalah trailer kisah sengsara sebelum Jumat Agung. Merenungkan soal raja, pertanyaan dapat diperdalam, dengan dua Injil tersebut, Raja seperti apakah yang ditampilkan dalam pribadi Yesus Kristus? Saya ingin mengajak kita untuk mengeksplorasi kekayaan Liturgi yang mewarnai Minggu Palma. Pertama, apa yang membedakan sosok Raja dalam minggu Palma dengan sosok Raja dalam Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam dalam liturgi Gereja? Jelas bahwa warna liturginya berbeda, yang satu merah dan yang satu putih. Kedua, cara berbusana imamnya pun berbeda antara ritus pembuka minggu palma yang dilakukan diluar Gereja dengan ritus selanjutnya yang dilakukan di dalam Gereja. Untuk ritus di luar Gereja biasanya imam menggunakan pluviale atau hanya menggunakan stola saja. Mungkin di beberapa tempat sudah tidak lagi memperhatikan hal ini karena ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sehingga sejak tata perayaan pembuka di luar gereja, imam sudah memakai kasula. Tapi, kalau mencermati tata liturgi, kasula baru dikenakan imam setelah berarak masuk ke dalam Gereja. Terlepas dari persoalan ada tidaknya pluviale atau perubahan penggunaan kasula ini, secara liturgi ditunjukkan ada perubahan nuansa. Dari gambaran seorang Raja menjadi imam yang mempersembahkan kurban Yesus, apalagi imam bertindak sebagai Kristus dalam Perayaan Ekaristi. Dari dua hal liturgi ini, yaitu dari warna dan dari cara berbusana, jelas pesan yang diajarkan oleh Gereja, yaitu bahwa semangat yang ditampilkan adalah semangat kemartiran atau pemberian diri yang total. Oleh karena itu, memadukan Injil yang kita dengar dua kali dalam perayaan Palma ini, Yesus adalah Raja yang memberikan diri-Nya secara utuh untuk umat-Nya.

Permenungan ini dipertegas dengan kesaksian Rasul Paulus, sebaliknya ia telah mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebaai manusia, Ia telah merendakan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Merenungkan Palma, tentu saja bagi saya pesannya sangat jelas yaitu kita semua dipanggil untuk menjadi taat seperti Yesus, yaitu Raja yang memberikan diri. Kita semua diundang memiliki semangat memberikan diri yang utuh dan total. Maka, kalau kita kembali kepada pengalaman sehari-hari mengenai keikhlasan orang tua, saya menemukan percikan semangat Yesus Kristus di dalam keluarga, keikhlasan yang bukan hanya tampak karena tanggung jawab semata, tetapi justru karena ada semangat pemberian diri yang utuh dan total.

Tentu, untuk menumbuhkan semangat pemberian diri ini, perlu disadari dan dilatih sejak dini di dalam keluarga. Ikatan dalam keluarga tentu bukan hanya soal ikatan keturunan dan perkawinan semata. Ikatan keluarga harus diperdalam dan dikembangkan dengan semangat pemberian diri seperti Yesus Kristus. Kita akan kehilangan keutuhan keluarga apabila semangat ini mulai memudar. Sebaliknya akan tumbuh sikap cuek, tidak peduli dan egois. Tidak adalagi perhatian dan pemberian diri. Namun, apabila setiap keluarga Kristiani memiliki semangat pemberian diri total ini, keluarga kita akan menjadi keluarga yang kuat, kokoh dan penuh dengan cinta kasih. Susah untuk menemukannya? Saya rasa tidak. Di Bomomani setiap orang sudah memberikan diri untuk membuat jalan dari gapura depan sampai ke Gereja dan Pastoran. Kita tahu bahwa itu membutuhkan batu, pasir dan semen yang sangat banyak dan berkali-kali harus kita angkut dari kali. Dalam waktu singkat sudah jadi jalan tersebut dan kita menikmatinya. Saya yakin itu adalah buah dari setiap keluarga Kristiani. Itu buahnya bisa dilihat. Tapi apakah buah itu sungguh ditemukan di dalam keluarga dan dinikmati bersama dalam keluarga? Apakah setiap orang tua menyadari bahwa dibalik setiap ucapan dan ungkapan diri yang disebut ikhlas terkandung semangat Yesus ini? Saya mengusulkan untuk setiap keluarga Kristiani sungguh mencermati, menemukan, mengusahakan dan mengajarkannya kepada anak-anak. Tujuannya adalah bukan untuk Gereja, tapi untuk keluarga itu sendiri. Saya sangat merindukan bahwa keluarga Kristiani di sini sungguh memiliki ikatan keluarga yang mendalam. Tidak akan ada keikhlasan kalau tidak ada pemberian diri yang utuh dan total seperti teladan Yesus Kristus, yaitu Raja yang memberikan diri. Keluarga Kuat, Gereja Kuat.


Sekarang ini kita tidak punya keledai tapi bekal minggu Palma ini adalah daun Palma yang kita pakai sebagai simbol mengelukan Yesus sebagai raja. Tolong, Palma itu jangan dibuang dan sesampainya di rumah, sematkanlah Palma itu pada salib Yesus yang ada di rumah kita. Sematkan itu pada salib yang dapat dilihat oleh setiap anggota keluarga. Tujuannya adalah supaya setiap kali kita melihat salib Kristus dan daun Palma itu, setiap anggota keluarga diingatkan terus menerus setiap harinya bahwa ikatan keluarga harus disertai dengan pemberian diri yang utuh dan total dalam hidup sehari-hari. Agar terngiang terus menerus, Raja kita yang memberikan diri. Kita pun bisa melakukannya dengan hal yang sederhana. Anak-anak bisa membantu orang tua mengerjakan tugas harian seperti cuci piring, cari kayu bakar, atau belajar yang serius. Demikian pula para orang tua bekerja dengan baik, merawat kebun dan ternak supaya mendapatkan rejeki yang dapat menghidupi keluarganya. Inilah semangat minggu Palma, semangat memberikan diri kita bagi orang lain, terutama orang yang kita cintai.


Pasti, keluarga kita akan menjadi keluarga yang kuat, kokoh, utuh dan penuh cinta kasih. Keluarga kuat, Gereja kuat, masyarakat pun kuat. Selamat merayakan minggu Palma. Semakin dekat dengan Yesus Kristus, Raja yang memberikan diri secara utuh dan total.




Rm. Ambrosius Lolong, Pr

Paroki Maria Menerima Kabar Gembira

Bomomani, Papua

bottom of page