Part 2: Kelahiran Yesus Kristus oleh Perawan Maria
Dilahirkan oleh Perawan Maria
Peran Maria dalam rencana keselematan Allah sesungguhnya ingin mengatakan bahwa Maria adalah rekan kerja (co-worker/synergoi) Allah. (lih. Luk. 1:49-50) Ungkapan “lahir/dilahirkan” pertama-tama mengarah pada realitas bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia. Ia dilahirkan, bukannya dijadikan. Sebagaimana manusia pada umumnya, termasuk kita, mengalami proses lahir ke dunia ini melalui rahim ibu kita. Akan tetapi, Yesus mengalami proses kelahiran yang sangat istimewa atau lain daripada yang lain karena ia terlahir ke dunia dari seorang perawan yang bernama Maria. Penjelasan mengenai keperawanan Maria akan dijelaskan pada bagian selanjutnya secara lebih detail.
Keperawanan Maria
Tradisi Gereja memberikan pemahaman tentang keperawanan Maria melalui 3 (tiga) macam istilah berikut: 1. Virginitas ante partum: Maria masih perawan ketika mengandung, 2. Virginitas in partu: Maria tetap perawan saat melahirkan Yesus, 3. Virginitas post partum: Maria tetap selalu perawan sesudah kelahiran Yesus dan selama hidupnya. Penekanan dogma tentang Perawan Maria ini terletak pada Maria selalu perawan (Aei parthenos). Keperawanan Maria dalam tradisi Gereja yang telah diturunkan turun temurun tidak dimaksudkan untuk melihat keperawanan Maria sebatas keperawanan fisik. Lebih daripada itu, keperawanan Maria perlu dipahami dan diyakini oleh iman kita sebagai keperawanan spiritual dan religius. Artinya, melalui keperawanannya Maria mencapai suatu kemurnian dan kesucian jiwa yang sempurna (virginitas mentis). Seperti yang sudah kita ketahui pula, bahwa ajaran atau dogma Maria yang dikandung tanpa noda dosa (Immaculate Mary) berkaitan dengan seluruh paham keperawanan Maria.
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Immanuel” (Yes 7:14) Penggunaan istilah “perempuan muda” (baca: almah) bagi komunitas Yahudi di Palestina menunjuk kepada perempuan muda (young-girl) yang sudah boleh menikah (marriageable). Ungkapan ini ingin mengatakan bahwa Maria mempunyai keperawanan yang melampaui status sosial, dan ia mencapai sebuah keutamaan yang sempurna sebagai pilihan Allah. Dengan kata lain, keperawanan Maria menunjukkan kepenuhan imannya kepada Allah.
Peran Maria dalam rangka karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus sesungguhnya amat besar. Penekanan pada ajaran dan teologi Maria harus dipandang dari perspektif kristologis dan ekklesiologis. Sebagai contoh, Ignatius dari Anthiokia memberikan penekanan bahwa kelahiran Yesus melalui rahim Maria menjadi jaminan kemanusiaan Yesus. Kita bisa melihat bahwa pada waktu Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel, saat itu juga ia berhadapan pada sebuah Misteri Ilahi. Secara psikologis, tentunya ia punya ketakutan-ketakutan alamiah yang mungkin saja tidak bisa dipahami dengan nalar. Pertanyaan besar yang terngiang-ngiang dalam hatinya adalah: “Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?” Salah satu alasannya adalah Maria belum bersuami, meskipun tunangan/calon suaminya yang pasti sebenarnya sudah ada, Yosef. Terkait dengan alasan atau jawaban Maria ini patut kita cermati bersama. Para ahli Kitab Suci menganalisis bahwa jawaban Bunda Maria menggunakan present tense: “I know not man/I do not know man.” Artinya, pernyataan ini mengacu pada suatu keadaan, bukan kejadian sesaat. Maria bukan berarti belum bersuami, melainkan tidak bersuami. (lih. Luk 1:34) Maria berarti tidak bersetubuh dengan laki-laki, baik dulu, sekarang, dan masa yang akan datang. Pernyataan inilah yang digunakan oleh para Bapa Gereja sebagai “janji selibat” dari Maria.
Padahal, yang dipikirkan Maria saat itu adalah mempersiapkan hidup berkeluarga layaknya masyarakat atau kerabat di sekitarnya. Sekali lagi pikiran semacam itu adalah pikiran manusia, namun kenyataan berbicara lain karena yang dipikirkan oleh Allah acapkali tidak sama dengan apa yang dipikirkan oleh manusia. Itulah misteri Ilahi yang sesungguhnya, terutama yang dialami oleh Maria, serta tidak jarang kita alami juga.
Sembah Bakti kepada Santa Perawan Maria
Ketika saya menjadi asisten pemimpin rohani Legio Mariae Senatus Bejana Rohani, umat/para legioner seringkali bertanya: Kita ini sebagai orang Katolik menyembah Bunda Maria atau tidak? Meskipun pertanyaannya saja sudah agak salah, tapi jawabannya adalah umat Katolik tidak menyembah Maria, melainkan menghormatinya secara istimewa. Sebagai orang Katolik, penghormatan kita kepada Bunda Maria merupakan ungkapan atau tindakan percaya, hormat, syukur, serta seruan permohanan bahwa Maria menjadi pengantara doa kita kepada Allah. Penghormatan kita sebagai orang Katolik bisa diwujudkan melalui doa-doa Devosi, seperti novena tiga kali Salam Maria, Litani Santa Perawan Maria, doa rosario suci, ziarah ke Gua Maria, dan lain sebagainya. Intinya, penghormatan kepada Maria tidak sama dengan penyembahan kepada Maria karena yang kita sembah sesungguhnya adalah Allah dan Kristus. Ajaran iman ini termaktub dalam Konsili Vatikan II yang mengatakan bahwa penghormatan kepada Maria adalah iman yang benar, dimana melalui iman itu kita dibawa kepada pengakuan akan keunggulan Bunda Maria dan kepada penghormatan dan cinta kasih pada Bunda Maria dan kepada seruan dan usaha mencontoh teladan keutamaannya.
Kita meneladan Maria sebagai orang yang beriman tulus kepada Allah, sekaligus membantu kita untuk mengikuti Yesus secara total. Melalui devosi kepada Bunda Maria, kita akan amat terdorong untuk mencintai Yesus Kristus, sama seperti ia mencintai Puteranya sendiri. Untuk menggambarkannya, pronomina Latin yang sangat terkenal dan biasanya sering dipakai sebagi tema ziarah adalah Per Mariam ad Jesum (Melalui Bunda Maria menuju kepada Yesus). Bagi saya, iman Bunda Maria dalam pengalaman kebersamaannya dengan Yesus senantiasa bertumbuh. Perannya tidak hanya menjadi seorang ibu yang membesarkan dan merawat Yesus. Boleh kita katakan, Maria adalah juga “murid” Yesus yang pertama dan paling setia. Karena ketaatannya, Maria sering disebut-sebut sebagai Hawa Baru (New Eve) yang jauh lebih taat daripada hawa yang pertama (first Eve). Keutamaan dan lebih-lebih ketaatannya sebagai “murid Yesus” ternyata sudah dimulai dari refleksi para Bapa Gereja, seperti Yustinus, Irenaeus, dan Tertulianus.
RD. Joseph Biondi Mattovano
Comentarios