Malaikat dan Iblis dalam iman Katolik diyakini sungguh ada. Misalnya, Yesus menjanjikan kepada Natanael, bahwa ia akan melihat malaikat naik turun dari surga. Demikian pula perjumpaan Maria dengan Malaikat Gabriel yang menyampaikan kabar bahwa ia akan mengandung putra Allah. Yesus sendiri mengusir iblis sebagai salah satu karya pelayanan di tengah masyarakat Israel. Iblis pula yang menggoda Yesus ketika berpuasa di padang gurun. Beberapa kisah tersebut ada di dalam kitab suci.
Hal ini menunjukkan bahwa refleksi mengenai malaikat dan iblis sudah hidup pada masa Yesus. Malaikat digambarkan sebagai sosok yang berada di pihak Allah. Malaikat melayani Allah dan meneruskan pesan Allah kepada manusia. Malaikat adalah gambaran kesetiaan, ketaatan dan kesehatian dengan Allah yang menjadi pokok dan pangkal kehidupan. Tidak ada malaikat yang bekerja seenaknya sendiri karena mereka terikat dan terpautkan pada Allah. Kehadiran malaikat juga memberikan rasa ketenangan dan kedamaian karena mereka menjadi perpanjangan atau perwakilan Allah yang mendampingi manusia.
Berkebalikan dengan gambaran iblis. Iblis digambarkan sebagai sosok yang menggangu kehidupa manusia. Dia tinggal dalam diri manusia dan membuat hidup orang tersebut seperti orang yang kerasukan. Iblis hidup dengan bebas tanpa terikat dengan siapa pun. Ia bergerak bebas dan tidak terikat pada Allah. Iblis bertindak seenaknya sendiri dan melawan kehendak Allah. Iblis mementingkan dirinya sendiri dan menjadi lambing keegoisan, kebebasan yang tidak memperdulikan kehadiran sesama, dan upaya pemenuhan diri sendiri. Kehadiran iblis memberikan rasa gelisah, takut, seakan-akan diteror. Tidak ada kedamaian atau ketenangan.
Dari gambaran yang dapat dilihat dan dirasakan, malaikat dan iblis merupakan dua kutub yang bertolak belakang dan memberikan dampak yang berbeda. Selain bahwa malaikat dan iblis memang ada, keduanya dapat direfleksikan sebagai gambaran dua kutub cara hidup manusia. Malaikat dan iblis menjadi lambang antara yang baik dan yang buruk. Dalam kehidupan sehari-hari pun dapat ditemukan dalam beberapa hal sederhana. Misalnya, konotasi kata “setan” atau “iblis” untuk pribadi-pribadi yang (tega) berbuat jahat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hidup manusia ada dua kutub cara hidup manusia.
Hal penting yang menjadi kunci adalah dengan siapa hidup kita terkait. Apakah hidup kita terkait dan terpautkan dengan Allah? Atau apakah hidupku hanyalah hidup demi kepentingan diri sendiri? Inilah yang menjadi dasarnya yaitu relasi dengan Allah. Bagi kita yang memiliki relasi dengan Allah, gambaran malaikat akan tumbuh di dalam dirinya. Sebaliknya, jika hidup kita semakin jauh dalam relasi dengan Allah, gambaran iblis-lah yang akan tumbuh dalam diri. Oleh karena itu, dari kedua kutub tersebut, cara hidup manakah yang menjadi pilihanku?
Rm. Ambrosius Lolong, Pr
Comments