Melihat begitu tebalnya kitab suci, membuat kita kadang kala enggan untuk membuka dan membaca. Alhasil, kitab suci hanya dibeli dan dibiarkan saja sampai waktu yang tidak ditentukan. Umumnya, pada Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN), yaitu bulan September, kita kembali diajak memperhatikan dan merawat kembali iman atas dasar inspirasi kitab suci. Tahun ini cukup menarik, sejalan dengan gerakan generasi milenial dengan berbagai macam challenge-nya, Keuskupan Agung Jakarta juga membuat challenge yang berkaitan dengan kitab suci. Ada challenge menyanyikan lagu “baca kitab suci, doa tiap hari”. Ada challenge untuk membaca satu perikop atau ayat dari kitab Amsal dan masih banyak bentuk challenge lainnya.
Saya sempat merenung sejenak ketika memperhatikan fenomena ini, apakah memang jaman sekarang dibutuhkan tantangan yang menarik untuk dapat semakin dekat dengan kitab suci? Atau kita bisa merenungkan, apa yang sedang ditantang dari diri kita agar bisa semakin dekat dengan kitab suci? Mungkin, kitab suci bukanlah sesuatu yang menantang bagi kita untuk didekati, dikenali dan dijalankan dalam hidup sehari-hari. Kitab suci telah menjadi sebuah formalitas status. Kita memiliki kitab suci agar makin jelas status Kekatolikan atau agar semakin terasa jiwa kekatholikannya. Namun, dibalik itu kita tidak pernah mau membuka dan membacanya.
Saya tertarik dengan pesan Rasul Paulus kepada Timotius. Dalam suratnya tersebut, Paulus memberikan nasehat, “jangan seorang pun mengganggap dirimu rendah karena engkau masih muda. Jadilah teladan bagi orang-orang beriman dalam perkataan dan tingkah laku, dalam kasih kesetiaan dan kesucianmu. Sementara itu, sambil menunggu kedatanganku, bertekunlah dalam membaca Kitab Suci,.......bertekunlah dengan semuanya itu, karena dengan berbuat demikian, engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1 Tim 4: 12-16). Paulus memberikan nasehat kepada Timotius bahwa dibutuhkan sebuah ketekunan. Bukan hanya sekadar membaca, melainkan tekun dalam membaca kitab suci. Buah dari ketekunan yaitu keselamatan bagi pembaca dan orang yang melihat cara hidup pembaca kitab suci.
Kalau kita mau merenung sejenak, apa yang sedang ditantang dari diri kita agar bisa dekat dengan kitab suci, mungkin jawabannya adalah ketekunan kita. Kita sudah memiliki dan tahu apa itu kitab suci, hanya saja kita tidak tekun. Memang tidak mudah untuk menjadi orang yang tekun karena ketekunan membutuhkan kesetiaan dan berdaya tahan. Setia untuk meluangkan waktu sejenak untuk sabda Allah. Berdaya tahan untuk merenungkannya walaupun hanya sejenak. Bagi mereka yang tidak tekun, waktu sejenak akan terasa sangat panjang dan menyiksa. Tapi, bagi mereka yang tekun, waktu sejenak tidak akan pernah cukup untuk selalu dekat dengan Allah dan mendengarkan sabda-Nya.
Ketekunan dalam membaca kitab suci tidak hanya membantu kita makin dekat dengan Allah. Ketekunan kita ternyata membuat diri kita makin tumbuh dewasa dalam iman, menjadi karakter rohani yang tangguh dan pewarta sederhana dalam hidup sehari-hari. Mereka yang melihat hidup kita yang demikian, perlahan-lahan akan mengenal Allah. Ada seberkas cahaya kecil yang terpancar dan mampu ditangkap oleh orang lain. Inilah yang membuat diri kita menjadi pewarta iman, bukan hanya dengan kata melainkan juga lewat perbuatan sederhana. Ketekunan, ibarat cahaya kecil, kadang meredup, kadang menyala terang, tetapi ketika orang melihatnya, mereka tahu jalan, arah dan tujuan. Membaca kitab suci, kuncinya adalah bertekun senantiasa.
Selamat bertekun, luangkan waktu sejenak membaca kitab suci.
Rm. Ambrosius Lolong, Pr
Commenti