Apa bedanya antara “takut” dan “ketakutan”? Secara sederhana, “Takut” adalah ketidaknyamanan atas suatu situasi eksternal yang mengganggu perasaan seseorang, mis. takut serangga, takut gelap, takut ketinggian, takut orang tertentu atau hal-hal lain. Ketika semua hal yang memunculkan rasa takut itu disingkirkan, bad feeling itu pun akan hilang. Berbeda dari “takut”, istilah “ketakutan” (atau dekat dengan istilah “kekhawatiran”) lebih menggambarkan suatu kondisi batin internal seseorang terhadap sesuatu yang tidak pasti penyebabnya, muncul berupa bayangan-bayangan negatif, prasangka atau pikiran yang menimbulkan perasaan insecure atau biasa disebut paranoid.
So, apakah rasa takut itu wajar? Jawabannya iya, ketika rasa takut membawa kita pada sikap waspada dan bijak dalam menghadapi persoalan hidup. Dalam refleksi Kebijaksanaan Iman Kristiani, satu poin penting yang bisa menjadi pedoman hidup kita pula yakni sikap “Takut akan Allah”. “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan” (Ams. 1:7). Di sisi lain, “ketakutan atau kekhawatiran” itu bukanlah keutamaan iman. Yesus menegaskan bahwa: “Siapakah di antara kamu yang karena kekhawatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?” (Mat. 6:27). Singkatnya, takut (takwa) merupakan awal kebijaksanaan-bersikap dalam nama Tuhan, sementara ketakutan (kekhawatiran) itu membinasakan karena membawa orang hidup dengan mengandalkan pikirannya sendiri.
Saat ini, kita memasuki satu fase penting dalam situasi Pandemi Covid-19 yang mungkin menjadi sumber rasa takut dan ketakutan baru. Kita disadarkan sebagai makhluk yang terbatas di alam semesta. Sikap “Takut akan Tuhan” merupakan kekuatan utama untuk mampu bersikap bijaksana di tengah segala peristiwa ini.
Lalu, bagaimana kita memaknai Kemerdekaan di masa Pandemi ini? Dalam Mazmur dikidungkan demikian: “Kamu dipanggil untuk kemerdekaan, maka abdilah satu sama lain dalam cinta kasih!” (Gal 5:13). Panggilan dan rahmat untuk menjadi manusia merdeka bukanlah suatu hak/kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita inginkan, tetapi justru suatu panggilan untuk mengabdi satu sama lain dalam solidaritas communio (satu keluarga Gereja, Indonesia dan dunia), apapun kondisinya.
Saat-saat seperti ini, orang yang “ketakutan” akan memilih bertindak gegabah, bahkan cenderung irrasional. Misalnya saja, orang sibuk memborong bahan makanan, obat-obatan, masker, hingga tissue toilet yang membuat kelangkaan barang dan menimbulkan kesulitan bagi orang yang benar-benar membutuhkan. Sementara Rasa “Takut” akan mengantar kita pada sikap bijaksana dan waspada, menjaga kesehatan diri dan keluarga serta lebih perhatian untuk mengurangi segala kemungkinan tertular virus, menjaga jarak, sadar akan kesehatan orang lain pula dan bersikap solider atas kebutuhan orang lain yang juga terdampak pandemi ini. Singkatnya, “orang yang ketakutan” cenderung bertindak sembrono guna memenuhi egonya sendiri sementara “orang yang takut” akan terdorong untuk bertindak tawakal dan penuh empati. Sebagai orang beriman yang merdeka, pilihannya ada pada kita.
Dalam suatu homilinya, Kardinal Ignatius Suharyo berkata bahwa orang beriman hidup bukan sekedar dalam optimisme, tetapi dalam pengharapan di dalam Tuhan. Optimisme bisa runtuh jika perhitungan dan keinginan kita tidak tercapai, sementara Harapan tetap selalu ada jika kita menaruh kepercayaan sepenuhnya pada Tuhan. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapan pada-Nya!”(Yeremia 17:7). TAKUT diubah-Nya menjadi KUATT dengan double T karena manusia hanya bisa kita menjadi KUAT di dalam Tuhan. Selamat Hari Merdeka! Hiduplah dalam Pengharapan!
-FR Eduard Salvatore da Silva OFM
Commenti