Sureq Galigo, Kitab terpanjang di dunia dari Sulawesi
- komsosymv
- 27 Jun
- 3 menit membaca

“Kita mungkin sudah mengenal Epos Mahabarata yang terkenal dari India. Sebuah kitab yang sangat panjang menceritakan bagaimana kubu Pandawa dan Kurawa berusaha menguasai singgahsana. Namun, ternyata ada sebuah kitab/epos yang lebih panjang dari Mahabarata dan kitab tersebut berasal dari negara kita, tepatnya dari Sulawesi.”
Kepulauan Sulawesi menyimpan sebuah mahakarya sastra lisan yang monumental: Sureq Galigo. Kitab yang juga disebut I La Galigo ini adalah sebuah epos kosmogoni yang merangkai mitos penciptaan, silsilah dewa-dewi, dan kisah kepahlawanan para leluhur masyarakat Bugis. Karya sastra yang diperkirakan mulai terbentuk pada abad ke-13 hingga ke-15 ini bukan hanya menjadi cerminan pandangan dunia dan nilai-nilai budaya masyarakat Sulawesi Selatan, tetapi juga merupakan warisan intelektual yang memiliki 300.000 bait, lebih panjang dari Kitab Mahabarata yang hanya memiliki 100.000 bait.
Dalam kisah penciptaan Sureq Galigo, dikisahkan sebuah entitas bernama Patotoque ada sebelum segala sesuatu ada dan ia menciptakan dirinya dari ketiadaan. Kemudian, Patotoque mulai melahirkan dewa-dewa lain yang salah satunya adalah Batara Guru yang kemudian ditugaskan untuk turun ke bumi. Saat turun ke bumi, Batara Guru mendarat di Daerah Luwu dan ditugaskan menciptakan segala sesuatu seperti gunung, hutan, dan segala isi bumi lainnya lalu mengatur tatanan bumi. Nantinya, ia akan menemukan pasangan dan menikahinya untuk meneruskan keturunannya di bumi.
Setelah selesai mengisi bumi dan menatanya akhirnya, Batara Guru menemukan calon pasangannya yang bernama We Nyili’ Timo. Mereka kemudian menikah dan melahirkan anak yang bernama Batari Tungke. Dari Batari Tungke, yang nantinya menikah dengan Remmang ri Langgi, akan melahirkan keturunan yang bernama Sawerigading. Tokoh inilah yang dianggap sentral dalam Kitab Sureq Galigo.
Sawerigading adalah seorang pangeran gagah berani dan tampan. Kelahirannya telah diramalkan dan disambut dengan sukacita karena diharapkan ia dapat membawa kejayaan. Sebagai keturunan dari dewa dan manusia, membuatnya memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga sering memenangi pertempuran dan dianggap sebagai pahlawan.
Dikisahkan juga bahwa Sawerigading berusaha mencari cinta sejatinya. Ia akhirnya menemukannya dalam diri We Cudai, seorang putri cantik dari negeri lain. Namun, We Cudai memiliki kembaran yang identik bernama We Tenriabeng. Terjadilah cinta segitiga di antara mereka yang membuat rumit kisah cintanya. Akhirnya, Sawerigading mampu menikah dengan We Cudai dan dikaruniai seorang anak yang bernama I La Galigo.
Sureq Galigo bukan hanya berisi mitos dan legenda. Di dalamnya terkandung nilai-nilai etika dan moral yang menjadi pedoman hidup masyarakat. Konsep siri’ (harga diri), pacce (solidaritas), dan lempu (kejujuran) tercermin dalam tindakan dan interaksi para tokoh. Konflik dan resolusi dalam cerita sering kali menjadi gambaran dari perjuangan antara kebaikan dan keburukan, keadilan dan ketidakadilan. Bahkan, dalam membacanya pun tak boleh sembarangan. Harus dalam acara yang tepat dan hanya boleh dibacakan oleh seorang yang ahli karena kitab ini dianggap sakral. Membacanya dengan sembarangan dianggap bisa membawa malapetaka.
Sayangnya, warisan budaya ini belum tersusun lengkap dan juga kurang diminati oleh generasi muda. Meskipun beberapa teks sudah disimpan di Museum La Galigo, masih banyak juga teksnya yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, Belanda. Namun, upaya-upaya untuk melestarikan dan mempopulerkan kitab ini terus dilakukan melalui berbagai cara, mulai dari pementasan teater, penerbitan buku, hingga adaptasi ke dalam bentuk seni lainnya. Pengakuan UNESCO terhadap naskah Sureq Galigo sebagai Memory of the World pada tahun 2011 semakin menegaskan pentingnya pelestarian karya sastra agung ini.
Sureq Galigo adalah tulisan yang menghubungkan kita dengan pemikiran dan keyakinan leluhur Sulawesi. Keagungan narasi, kedalaman simbolisme, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya menjadikan kitab ini bukan hanya milik masyarakat Bugis semata, tetapi juga bagian dari warisan budaya dunia yang patut untuk terus dipelajari, dilestarikan, dan diapresiasi. Melalui Sureq Galigo, kita dapat belajar tentang kearifan lokal, kekayaan imajinasi, dan betapa pentingnya menjaga akar budaya di tengah arus globalisasi.
Gregorius Krisnanta
Hozzászólások