“Selamat tinggal kalender 2020 dan selamat datang kalender baru,” ucapku ketika ingin meletakkan kalender anyar di meja belajar. Namun, pergantian tahun ini tak diikuti perubahan kepastian tentang berakhirnya pandemi yang bisa jadi berlanjut sampai tahun 2022. Artinya, kita masih harus menghadapi penjarakan fisik, status terjangkit, dan kematian. Jika demikian, apa yang harus kita lakukan dalam menghadapi situasi demikian? Tuhan sedang apa di saat seperti ini?
Bagi saya, Tuhan sendiri justru turut menghendaki agar pandemi ini berakhir. “Bagaimana bisa gitu? Buktinya pandemi ini nggak selesai.” Ingat, Tuhan kita bukanlah “Doraemon” yang memberikan keajaiban secara langsung lewat kantung ajaibnya. Jawaban atas berakhirnya pandemi sebenarnya telah diberikan Tuhan kepada kita. Kecerdasan manusia adalah salah satu jawaban tersebut yang memungkinkan penyusunan strategi penanggulangan lewat protokol kesehatan yang seharusnya ditaati maupun penemuan vaksin secara bertahap. Namun, kecerdasan segelintir manusia pun tampaknya belum tentu membawa indikasi berakhirnya pandemi.
Solusi Kecil atas Pandemi
Dalam homilinya di Bulan September 2020, Paus Fransiskus mengatakan bahwa kini kita telah hidup dalam era Normal Baru bahkan sampai selesai pandemi. Era tersebut diwarnai dengan pelbagai aksi kebaikan seperti banyak gerakan solidaritas maupun empati bagi mereka yang terjangkit Covid. Pandemi telah mengubah kita. Janganlah kita berharap kembali pada normal yang lama, apalagi ‘normal’ yang sarat dengan individualisme dan antipati.
Setali dengan pesan tersebut, Paus juga menekankan—dalam kotbah awal 2021—saat ini yang kita butuhkan adalah semangat solider dan pembaruan paradigma komunitas kita. Sebagai bagian dari communio (cum+unus= bersama bersatu) manusia, kita dipanggil kepada manusia yang lain. Situasi miris selama pandemi ini adalah salah satu panggilan bagi communio tersebut karena kita tak bisa abai begitu saja pada sesama kita.
Paus juga menimba inspirasi dari kisah Orang Samaria yang Baik Hati (Luk. 10:30-35). Orang Samaria tidak mengawali aksinya dengan ceramah tentang hal baik yang seharusnya di alami oleh korban perampokan tersebut. Namun, ia justru langsung menolong, memboyong korban tersebut, dan menanggung biaya pengobatannya. Bagi saya, inilah jawaban lain dari berakhirnya pandemi atas bangsa manusia: solidaritas dengan yang menderita.
Solidaritas berangkat dari kepekaan hati akan nasib mereka yang kurang beruntung dari kita. Mereka yang di-PHK dan putus asa karena sakit yang tak berakhir adalah korban yang membutuhkan pertolongan para “Samaria.” Meskipun kita beruntung dengan kesehatan dan kemapanan di tengah masa seperti ini, kita sebaiknya mencurahkan perhatian dan bantuan kepada mereka. Semangat yang diperlukan di sini adalah menjadi sehati dan sepikir dengan mereka (Rom. 12:16). Kesadaran seperti ini sekiranya bisa memantik communio kita sehingga kita—seturut spirit Tahun Refleksi KAJ—dapat menjadi semakin mengasihi, semakin terlibat, dan semakin menjadi berkat.
-FR Leonardus Bima SL
Comments