Selain para misionaris dari Belanda, ternyata ada juga pribumi yang menjadi misionaris dalam perkembangan Katolik di Indonesia. Misionaris dari Jawa ini bahkan pernah dianugerahi gelar kehormatan dari Vatikan dan menjadikannya Orang Indonesia pertama yang mendapatkannya. Sosok tersebut adalah Barnabas Sarikrama yang kisahnya tak lepas dari Goa Maria Sendangsono.
Barnabas Sarikrama lahir di Dusun Jamblangan pada tahun 1874 dengan nama kecil Sariman. Beliau lahir dari keluarga sederhana dan saat masih dalam usia kandungan tiga bulan, ayahnya meninggal. Menurut tradisi daerah tersebut, anak yang lahir dan ayahnya sudah meninggal harus diserahkan kepada mertuanya. Karena keadaaan keluarga yang cukup sulit, Sariman hanya mencapai pendidikan setara dengan kelas 1 Sekolah Dasar. Meski begitu, beliau tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Hidup Sariman pun tidak menetap. Beliau sempat tinggal bersama saudaranya yang bernama Jasemita di Gerpule. Kemudian, ia berpindah untuk tinggal dengan saudaranya yang lain di Kalisentul. Perjalanan hidup yang cukup sulit ini menjadikannya dekat dengan hal-hal kerohanian seperti olah jiwa, puasa, dan semedi di tempat-tempat sepi. Berkat latihannya tersebut, dalam usia yang ke-30 ia menjadi orang yang cukup disegani oleh warga sekitar. Kemauannya untuk belajar dan mencari guru pun menemui titik terang.
Beliau bertemu dengan Suratirta yang menjadi tokoh di daerah Kajoran. Sariman pun berguru dengannya dan akhirnya menikah dengan putrinya yang bernama Adriana. Saat anak mereka menginjak usia tiga tahun, Sariman menderita sakit kudis yang menyebabkan tungkai kakinya berlubang dan membusuk. Berbagai cara pengobatan tradisional dicoba namun tidak membuahkan hasil. Beliau sampai harus tidur di luar rumah karena merasa mengganggu anak dan istrinya dengan penyakitnya yang mengeluarkan bau tak sedap.
Sariman pun mencoba untuk mencari pencerahan dengan laku semedinya. Salah satu tempat favoritnya untuk bersemedi adalah sebuah goa yang diapit dua pohon sono (keling) dan dibawahnya ada sebuah sendang (mata air dengan telaga kecil). Tempat tersebut juga sering disinggahi oleh para Biksu Budha yang akan menuju dan pulang dari Candi Borobudur. Pada suatu kesempatan, ia mendapatkan bisikan dalam semedinya untuk pergi ke arah timur laut. Di sana, ia akan menemukan orang tinggi yang memakai pakaian putih dan akan menyembuhkannya.
Berkat wangsit tersebut, Sariman akhirnya melakukan perjalanannya dan ia berjanji bahwa jika ia berhasil disembuhkan, maka ia akan mengikuti orang tersebut. Karena kondisi kakinya yang sakit, ia bahkan terpaksa untuk merangkak melakukan perjalanannya. Setelah berjalan sejauh 15 kilometer, ia sampai di Muntilan dan bertemu dengan seorang Belanda bertubuh tinggi dan memakai baju putih. Orang tersebut adalah Broeder Kersten yang dalam karya pelayanannya membantu Pastur Van Lith membuka Rumah Sakit di Muntilan. Naluri Sariman berkata bahwa sosok tersebutlah yang ia cari. Akhirnya, Sariman pun meminta tolong Broeder Kersten untuk disembuhkan.
Selama masa pengobatan, Sariman harus pulang pergi ke Muntilan. Saat masih masa perawatan di Muntilan, ia sering melihat orang banyak berkumpul dengan Romo Van Lith untuk mengajar iman Katolik. Ajaran tersebut membuat Sariman tertarik dan setelah dinyatakan sembuh, ia tetap sering datang ke Muntilan untuk meminta izin mengikuti pengajaran Romo Van Lith.
Sariman yang kembali ke daerah asalnya dibekali sebuah Kitab Suci Perjanjian Baru berbahasa Jawa dari Romo Van Lith. Saat kembali ke rumah, ia menunjukkan buku tersebut kepada keluarga, teman, dan tetangganya tentang isi kitab suci tersebut. Meskipun awalnya orang-orang merasa asing dengan cerita dan tokohnya tapi, mereka merasa tertarik untuk mempelajarinya. Sariman pun dengan semangat mengajarkan iman Katolik kepada mereka.
Sariman pun dibaptis oleh Romo Van Lith pada tanggal 20 Mei 1904 dengan nama baptis Barnabas. Romo Van Lith pun juga merubah namanya menjadi Sarikrama. Atas baptisan ini, Sarikrama ditugaskan untuk mengkatekisasi orang-orang di sekitarnya. Ia pun memulai misinya ke daerah-daerah meskipun mengahadapi medan yang berat dan penolakan warga sekitar yang masih percaya dengan kepercayaan kejawen.
Namun, berkat kegigihannya pada 14 Desember 1904 sebanyak 173 orang dibaptis oleh Romo Van Lith di Semagung, dengan menggunakan mata air yang diapit dua pohon sono. Tempat tersebut sekarang lebih dikenal sebagai Sendangsono. Peristiwa tersebut diabadikan dengan sebuah relief diorama di salah satu dinding komplek peziarahan Sendangsono. Setelah itu, berkat jasa penginjilannya, Sarikrama dianugerahi gelar bintang Pro Ecclesia et Pontifice oleh Paus Pius XI pada tahun 1928 sekaligus menjadikannya orang Indonesia pertama yang mendapat penghargaan tinggi dari Paus.
Barnabas Sarikrama meninggal pada 15 Juli 1940. Pada saat itu, keluarga berharap bahwa jenazahnya dapat dimakamkan di pemakaman keluarga yang ada di Dusun Kajoran. Namun, Pastur Prennthaler yang sedang bertugas di Muntilan menyarankan untuk dimakamkan di Kompleks Goa Maria Lourdes, Sendangsono. Makamnya saat ini bisa kita kunjungi di sebelah Goa Maria Sendangsono.
GREGORIUS KRISNANTA
Comments