Pasti kita pernah mendengar nyanyian Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Ternyata, lagu tersebut bukan cuma sebuah nyanyian. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa catatan kuno yang dibuat oleh para penjajah maupun dari catatan kerajaan klasik yang ada di Nusantara. Salah satu bukti bahwa nenek moyang kita seorang pelaut adalah kapal jung yang pernah menjadi kapal perang terbesar yang bisa menandingi kapal induk di era modern ini.
Kapal jung adalah kapal layar kuno dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Sunda. Terdapat pandangan berbeda tentang asal nama tersebut dari dialek Cina atau dari bahasa Jawa. Ada yang beranggapan kata Jong berasal dari bahasa Cina chuán (berarti perahu atau kapal). Namun, yang lebih mendekati adalah "jong" dalam Jawa Kuno yang artinya kapal. Catatan pertama jong dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari sebuah prasasti di Bali yang berasal dari abad ke-11 M. Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata Cina mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal.
Pada tahun 1500-an, bangsa Eropa mulai mencari rempah-rempah ke timur melalui Jalur Sutra. Posisi Nusantara yang kala itu sangat strategis pun tak luput dari incaran bangsa Eropa. Portugis yang tiba di Nusantara pada awal 1500-an terkejut saat sampai di Selat Malaka melihat kapal-kapal Jung Jawa mendominasi jalur rempah yang ada di Selat Malaka, Jawa, bahkan sampai Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata teknologi perkapalan di Nusantara zaman itu sudah sangat maju. Bahkan, para pelaut Jawa sudah melintasi antar benua kala itu.
Seorang pelaut Portugis benama Diego de Couto, dalam buku Da Asia yang terbit pada 1645, menyebutkan orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan pada abad ke-16 memiliki kulit coklat seperti orang Jawa dan dikatakan mengaku keturunan orang Jawa.
Kapal Jung disebutkan memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat dan dapat menahan tembakan meriam kapal-kapal Portugis. Bobot rata-rata kapal Jung adalah 600 ton, lebih besar dari kapal perang Portugis. Bahkan, Kerajaan Demak memiliki kapal Jung yang berbobot 1000 ton atau setara kapal induk perang modern. Kapal ini digunakan untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada tahun 1513. Tome Pires dalam catatannya yang berjudul Summa Oriental tahun 1515, menyebutkan kapal Portugis terbesar yang ada di Malaka yang bernama Anunciada, terlihat tak sebanding dengan kapal Jung.
Salah satu kisah terkenal tentang kapal-kapal Jung ini adalah kisah Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerima gelar Rainha de Japara, senhora paderosa e rica (Ratu Jepara, seorang perempuan yang kaya dan berkuasa) oleh bangsa Portugis. Ratu kalinyamat diminta oleh Malaka untuk membantu mengusir Portugis pada 1573. Pelabuhan Jepara kala itu mampu menampung banyak kapal Jung dan untuk ekspedisi ke Malaka sendiri Ratu Kalinyamat menyiapkan 300 kapal Jung, 80 diantaranya memiliki berat 400 ton. Hal ini membuktikan bagaimana kemahiran orang-orang Nusantara dalam membuat kapal sejak dahulu.
Kapal Jung digunakan juga untuk membawa berbagai komoditas dari berbagai negara karena ukurannya yang sangat besar. Kapal tersebut mampu membawa 800 prajurit dan 200 tawanan. Menurut buku Majapahit Peradaban Maritim yang ditulis Irwan Djoko Nugroho, Jung Jawa memiliki ukuran empat sampai lima kali lipat kapal Flor de La Mar. Bahkan, kapal Jung mampu membawa komoditas hingga 2000 ton.
Dalam catatan Duerte Barbosa, Jung Jawa digunakan untuk perdagangan komoditas dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu. Karena perdagangan inilah Jawa kala itu menjadi pasar besar karena semua komoditas Asia dapat ditemukan di Jawa.
Sayangnya, saat ini kapal Jung sudah tidak bisa ditemui lagi. Namun, kisah kebesaran kapal Jung tetap tertulis rapih dan bisa menjadi bahan pengingat bagi kita bahwa sejak dahulu kita memang negara maritim dan sudah menjelajahi Samudra dengan kemampuan kita sendiri. Bahkan, ada sebuah nama yang disebutkan sebagai penjelajah dunia pertama yang berasal dari Tidore, yaitu Enrique Maluku. Dengan berbagai data tersebut, patutlah kita berbangga sebagai bangsa besar yang mampu menaklukkan samudra sejak masa lampau.
GREGORIUS KRISNANTA
Comments