Seorang imam diajak untuk senantiasa menghormati dengan penuh bakti dan mencintai Bunda Maria sebagai Bunda Sang Imam Agung, serta sebagai pelindung pelayanan mereka. (Presbyterorum Ordinis art. 18). Demikian pula seluruh umat beriman Kristiani diajak untuk menghormati dan meneladan Bunda Maria dalam hidup sehari-hari.
Saya teringat bahwa salah satu bagian dari lambang Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, Keuskupan Agung Jakarta, adalah huruf “M”. Huruf “M” itu mengacu pada sosok Maria. Spiritualitas Maria memang menjadi salah satu bagian yang membentuk kehidupan bidang rohani calon imam Diosesan Jakarta. Maria sebagai pribadi yang memberikan keteladanan untuk memiliki sikap peka dan terbuka pada kehendak Allah. Kepekaannya pada kehendak Allah tampak dalam seluruh hidup Bunda Maria terutama ketika ia mendapatkan kabar gembira dari Malaikat Gabriel.
“Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya dalam hatinya, apakah arti dari salam itu.” (Luk 1:29). Hati Maria yang murni (Maria Dikandung Tanpa Dosa) membuatnya peka pada suara Malaikat Gabriel. Kepekaannya itu muncul sebagai sebuah rahmat sekaligus ketekunannya dalam mengolah rohani. Inilah keteladanan Maria yang bagi saya penting. Kepekaan mendengarkan kehendak Allah muncul sebagai sebuah rahmat yang diberikan kepada setiap pribadi. Akan tetapi, kepekaan pada kehendak Allah itu juga merupakan buah dari ketekunan dan pengolahan hidup rohani. Ketika setiap pribadi berusaha untuk memberikan waktu dengan senang hati bagi Tuhan, disanalah komunikasi dengan Allah terjalin. Komunikasi yang rutin itu menumbuhkembangkan sensitifitas pada gerakan Roh Allah.
Kepekaan Maria tidak akan ada artinya apabila ia tidak terbuka pada kehendak Allah. Keterbukaan Bunda Maria pada kehendak Allah terungkap dalam ucapannya kepada Malaikat Gabriel.
“Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1:38).
Keterbukaan ini pada akhirnya membuahkan seluruh perjalanan Maria bersama Yesus Putranya. Keterbukaannya ini memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dalam karya penebusan Allah.
Pengalaman nyata mengenai kepekaan dan keterbukaan pada kehendak Allah telah membawa diri saya pada keputusan untuk ditahbisakan menjadi Diakon beberapa waktu yang lalu. Dalam retret persiapan tahbisan diakon, saya kembali mencoba melihat seluruh perjalanan panggilan serta penghayatan motivasi panggilan menjadi seorang imam. Satu yang saya sadari selama seluruh proses formasi adalah bahwa Allah selalu punya cara untuk mempersiapkan saya menjadi alat-Nya. Saya bersyukur dan bahagia bahwa seluruh pengalaman yang saya alami merupakan kasih Allah yang sungguh nyata bagi hidup saya. Kasih Allah itu tersalur melalui para romo, para pendamping, teman-teman frater, keluarga, dan umat yang saya jumpai. Kasih Allah itu jugalah yang mendorong saya untuk semakin menanggapi panggilan Allah.
Tentu kita semua memiliki banyak pengalaman mengenali dan melaksanakan kehendak Allah. Kehendak Allah itu sungguh dapat dirasakan jika diri kita peka dan terbuka pada kehendakNya. Santo Yohanes Maria Vianney juga memiliki kepekaan dan keterbukaan pada kehendak Allah dalam hidupnya. Pilihan hidupnya menjadi seorang imam tentu karena Vianney selalu berusaha berkomunikasi dengan Allah dan terbuka pada konsekuensi yang akan diterimanya. Semangat ini tentu diinspirasikan dari sosok Bunda Maria yang juga menjadi nama tengahnya.
Marilah, pada bulan Maria ini, kita bersama Bunda Maria melatih diri untuk semakin peka dan terbuka pada kehendak Allah dalam hidup kita. Kehendak Allah tidak selalu mudah, tapi yakinlah, kehendak-Nya merupakan jalan terbaik bagi kita umat-Nya.
Frater Diakon Andreas Subekti
Komentarze