Sejarah Korona (lingkaran) Adven mulai di kalangan kristen
protestan, tetapi kini disebar di mana-mana. Di kota Hamburg,
Jerman, kota pelabuhan, seorang pendeta dan pemimpin
sebuah rumah anak terlantar (anak jalanan – lht. MB 27 E) dan
yatim piatu mendapat suatu ide gemilang. Untuk
menghidupkan kegembiraan para anak dan pembantu asuhan,
pendeta yang bernama Yohan Hinrik Wikhern itu, pada tahun
1839 memasang sebuah lingkaran kayu berdiameter 2 meter di ruang sembahyang rumah asuhan itu. Di atasnya setiap hari dihidupkan sebuah lilin sehingga pada hari menjelang Natal, 23 lilin bernyala. Di kemudian hari, lingkaran itu dililiti dengan daun hijau dari sejenis pohon cemara, juga disebut pohon Natal dan merupakan satu-satunya pohon yang daunnya tidak gugur pada musim dingin. Untuk hari biasa dipasang lilin kecil berwarna merah. Untuk hari Minggu dipasang lilin gemuk berwarna putih. (Harap maklum, bahwa jumlah hari masa Adven tidak sama setiap tahun, tergantung jatuhnya hari Natal, entah hari Minggu, Senin, Selasa dan seterusnya).
Cahaya di lingkaran atau Korona Adven yang makin besar ingin menyiapkan orang akan kedatangan Tuhan waktu Natal dan menghidupkan harapan di kegelapan kehidupan (secara lahiriah pada musim dingin di Eropa, siang hari cukup gelap sebab matahari hanya beberapa jengkal naik di atas ufuk dan cahayanya sangat lemah).
Ide atau penemuan pendeta Wikhern semakin tersiar dan menarik perhatian seluruh orang Eropa dan kemudian menyebar ke hampir seluruh dunia. Namun karena ukuran asli terlalu besar untuk rumah pribadi, maka besarnya diperkecil dan hanya dihias dengan 4 lilin sesuai dengan keempat hari Minggu selama masa Adven. Bahkan ada karangan Adven dengan hanya satu lilin, sering dibentuk dengan akar pohon dan disebut Akar Isai / Yesse, sesuai dengan Yes 11:10.
Masih ada asal-usul lain tentang Korona Adven. Sudah di masa kafir orang menggantungkan sebuah lingkaran, terbuat dari jerami atau daun pohon, di pintu rumah atau di pintu kandang binatang dengan harapan terhindar dari roh-roh jahat yang masuk atau pembawa rezeki. “Kemujaraban” lingkaran itu masih dikuatkan dengan meliliti lingkaran dengan pita merah atau emas. Kini lingkaran di pintu kiranya hanya berarti: "Selamat Datang!" Pita merah itu dipasang juga ke Korona Adven.
Kebudayaan Korona Adven atau Akar Yesse 'meresap' juga di lingkungan katolik bahkan ke dalam liturgi. Di buku pemberkatan sudah terdapat Doa Pemberkatan Korona Adven pada Hari Minggu Adven I.
Komisi Liturgi kita (Keuskupan Sibolga) kurang melihat faedahnya memberkati Korona Adven itu, maka mereka menempuh jalan lain, jalan tradisi Gereja, yaitu membentuk kebiasaan yang disebut Lucenarium (Penyalaan Lilin) Adven. Hal ini telah direstui oleh Mgr. Anicetus Sinaga OFMCap tatkala dia masih berugas di Keuskupan Sibolga.
Orang Yahudi mengenal sebuah lucenarium pada awal perjamuan Sabat, pada petang menjelang hari Sabtu. Saat itu, ibu rumah tangga menghidupkan dua lilin dan mengucapkan sebuah berakha (pujian/berkat) atasnya. Baru sesudah itu tuan rumah memberkati roti persatuan dst. Gereja Timur mempunyai lucenarium pada awal setiap Ibadat Sore dengan menyanyikan madah Phos Hilaron. Gereja Katolik Roma mempunyai hanya satu lucenarium, yaitu pada Malam Paskah. (Masih ada lucenarium pada Pesta Yesus dipersembahkan di kenisah, yang kemudian hari dibawa oleh Paus Sergius I dari Gereja Timur).
Dengan menghidupkan api dan lilin Paskah (Lambang Allah dari Allah, Terang dari Terang [Syahadat panjang]) dan dengan pemberkatan meriah (Exsultet) ingin disiapkan api untuk seluruh tahun, disimpan di Lampu Abadi dekat tabernakel. Dari situ setiap hari maunya diambil nyala untuk menghidupkan lilin altar dan lilin lain. Sekitar 50 tahun yang lewat hal ini masih biasa dilaksanakan.
Mengingat tradisi timur dan barat, Komisi Liturgi memasang sebuah lucenarium pada awal upacara pada ke-4 Hari Minggu Adven di dalam buku Fangowasaini Luo Zo'aya, sesudah doa tobat (ganti Kemuliaan). Lucenarium itu menjadi begitu biasa sehingga terasa ada sesuatu yang hilang bila tidak dilaksanakan, juga di perayaan Misa dan Misa berbahasa Indonesia. Maka Komisi Liturgi menyiapkan juga versi bahasa Indonesia. Sumber: gemaliturgi.blogspot.com
Comments