Pertama Kali, Indonesia Ikut Konferensi Internasional Imam Perwira Rohani Militer
The Fifth International Course for The Formation of Catholic Military Chaplains to International Humanitarian Law
Untuk pertama kalinya setelah Perang Dunia II, Indonesia bisa ikut Konferensi Internasional dan Pembinaan para Perwira Rohani Katolik beserta para Uskup yang berkarya di lingkungan militer yang berlangsung dari tanggal 29 – 31 Oktober 2019 lalu di Balai Sidang Institut Patristik Agustinianum, Vatican City. Roma Pertemuan internasional pembahasannya kali ini lebih difokuskan pada pelaksanaan implementatif Hukum Humaniter (Hukum Perang/Konvensi Jenewa, 12 Agustus 1949) di setiap negara-negara yang tergabung dalam Keuskupan Militer (Ordinariate Casterensis) se-dunia yang kini telah beranggotakan 41 negara
Pada kesempatan itu Romo Yos Bintoro, Pr sebagai perwakilan dari Indonesia (wakil Uskup TNI & Polri sekaligus delegasi resmi Pemerintah RI atas nama Panglima TNI (berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1169/X/2019 tanggal 16 Oktober 2019 tentang Perjalanan Tugas Dinas ke Luar Negeri) menyampaikan 2 (dua) pengalaman menyangkut pelayanan pembinaan rohani di lingkungan TNI dan Polri.
Pertama, mengenai penanganan aksi kekerasan oleh kelompok kriminal bersenjata dilaksanakan militer Indonesia dengan taat asas berdasarkan prinsip-prinsip pelibatan kepolisian RI dan bantuan militer (TNI) yang sudah diatur ketat dalam Undang-Undang Negara (UU RI No 2 tentang Kepolisian Negara, UU RI No 3 tentang Pertahanan Negara dan UU RI No 34 tentang TNI). Legalitas peraturan yang telah disahkan DPR ini lebih banyak mengusung tugas TNI (Indonesian National Armed Forced) pada ranah operasi militer selain perang (military operation other than war) memantapkan pelaksanaan perintah sesuai prosedur.
Dengan peraturan yang tegas itu bisa dikatakan sudah tidak ada keragu-raguan lagi dalam penerapan prinsip-prinsip hukum humaniter selain menegakkan wibawa pemerintah yang berdasarkan sumber hukum negara yakni lima prinsip moral utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Ideologi Pancasila.
Selain itu, Rm Yos Bintoro juga menegaskan bahwa seluruh jajaran Perwira TNI juga telah mendapatkan pendidikan dan pembinaan secara bertahap, berjenjang dan berlanjut mengenai sosialisasi dan workshop Statuta Roma (17 Juli 1998) mengenai Mekanisme Penegakan Hukum HAM dan Hukum Humaniter. Rm Yos Bintoro menyampaikan kenyataan militer yang ada di Indonesia baik Polisi dan Tentara di Republik Indonesia telah melaksanakan tugas, peran dan fungsinya agar masyarakat merasa aman dan terlindungi. Paparan dari Indonesia ini ditanggapi dengan baik oleh peserta konferensi karena pandangan tersebut merupakan hal yang baru bagi mereka.
Rm Yos juga memaparkan bahwa hasil jajak pendapat mengenai citra TNI terus membaik . Jajak pendapat ini diperoleh dari polling lembaga survey kredibel dari Majalah Tempo, maupun hasil survey Litbang Harian Kompas. Hasil survey menyatakan tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja, modernisasi dan profesionalisme TNI dan Kepolisian Republik Indonesia.
Menariknya, hasil survey itu disampaikan di tengah menghangatnya suhu politik Indonesia menjelang dan saat pesta demokrasi pemilihan umum 2019 di Indonesia, kehadiran aparat keamanan Indonesia mampu meredam dan dan menghadirkan suasana yang kondusif. Aparat keamanan pun dinilai masyarakat cepat bergerak dan mengambil insiatif dalam menangkal gerakan kelompok radikal seperti teroris, sehingga sanggup membatalkan niat kelompok-kelompok radikal untuk melaksanakan kepentingan agenda politik mereka yang berlawanan dengan kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.
Secara umum baik TNI sebagai kekuatan militer Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia dinilai masih dipercaya oleh masyarakat Indonesia. Kunci kekuatan itu terletak pada aktualisasi sinergitas, koordinasi dan kerjasama TNI dan Kepolisian Republik Indonesia yang nyata di tengah kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
Kedua, mengenai proses pelayanan pelayanan rohani merupakan pendampingan hidup rohani umat Katolik di lingkungan TNI dan Polri dalam bentuk pelayanan penerimaan berkat sakramental. Bentuk pelayanan lainnya adalah pendampingan pendidikan di lingkungan lembaga pendidikan militer di Indonesia guna memberi bentuk pada jiwa-rohaniah, kepribadian, karakter, dan kebangsaan Indonesia yang religius, nasionalis serta militan dengan melasanakan pelayanan yang bersifat partisipatoris dan dialogis, baik bagi komunitas-komunitas Kristiani (Katolik maupun Protestan) maupun mengembangkan kebersamaan hidup yang inklusif dengan umat Muslim sebagai kelompok masyarakat beriman yang terbesar di Indonesia (dan di negara berpenduduk Muslim dunia), termasuk dengan kelompok umat Hindu, Buddha dan Konghucu yang diakui keberadaannya oleh pemerintahan Republik Indonesia. Secara khusus umat Katolik di lingkungan TNI dan Polri diajarkan katekese berupa sejarah Kekatolikan yang diwariskan pendahulu beriman kepada generasi beriman Katolik selanjutnya yaitu: warisan cinta akan tanah air.
Konperensi yang bertajuk The Fifth International Course for The Formation of Catholic Military Chaplains to International Humanitarian Law diikuti oleh tidak kurang perwakilan 25 negara-negara (dari 41 negara yang memiliki Keuskupan Militer di seluruh dunia), dihadiri 22 orang uskup militer, 60 lebih imam militer, dan lebih dari 30 awam Katolik yang terdiri dari militer aktif, perwakilan lembaga-lembaga di bawah Kepausan (Departemen Kepausan bagi Penginjilan Bangsa-Bangsa/Propaganda Fide, Departemen Kepausan Urusan Promosi Pembangunan Manusia Integral, Kongregasi Para Uskup Kuria Roma), para akademisi (Universitas Bologna, Universitas Roma Tre), dan anggota organisasi-organisasi internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan dan hak asasi manusia (antara lain: ICRC/Palang Merah Internasional, AMI/Apostolate Militaire International, ) yang dengan tekun membahas isu-isu terkini dalam karya kerasulan di dunia militer, kepolisian, dan angkatan bersenjata dalam berbagai bentuknya di negara-negara peserta. Negara asal peserta sangat beragam. Dari Afrika Selatan, Kenya, Pantai Gading hingga Kongo mewakili benua Afrika. Dari benua Amerika dihadiri Kanada, AS, hingga Uruguay, Peru, Argentina, Bolivia, Republik Dominika, dan Guatemala. Dari benua Eropa hadir utusan Kerajaan Inggris, Belanda, Belgia, Swiss, dan Italia. Sedangkan dari Gereja Ritus Timur hadir perwakilan Ukraina dan Armenia. Perwakilan benua Asia ada tiga negara: Filipina Korea Selatan dan Indonesia .
Dalam konferensi juga dibahas persoalan ancaman dan perampasan terhadap kemanusiaan secara global ini sebetulnya sudah terjadi sejak masa Perang Dunia (Pertama dan Kedua), bahkan pada masa-masa sebelumnya yang tercatat dalam sejarah. Pada situasi saat ini, konflik dan kekerasan bersenjata di beberapa negara masih terus berlangsung. Bahkan yang tidak terdeteksi oleh perhatian internasional seperti konflik berkepanjangan antar kelompok dan antar etnis dalam suatu negara belum menemukan titik akhir.
Dalam pertemuan ini juga direfleksikan ancaman sekarang yang mengalami perubahan bentuk, yaitu ancaman terhadap kemanusiaan yang datang sebagai akibat dari kejahatan cyber, penyebaran kebencian dan berita bohong atau hoax. Pertemuan ini menyadari bahwa saat ini jamak sekali ajaran fundamentalisme yang sebetulnya sangat berlatar belakang politik ekonomi dari suatu kekuatan tertentu. Dalam sharing yang disampaikan oleh beberapa negara juga diungkapkan ancaman terhadap kemanusiaan ketika anak-anak diindoktrinasi atau direkrut sebagai pelaku dalam pertikaian senjata, baik sebagai tentara dengan tugas membunuh, menghancurkan, pembawa bom bunuh diri, tenaga pendukung, hingga sebagai budak seks.
Ancaman terhadap kemanusiaan pada masa kini juga datang sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan baru dalam bidang kimia dan fisika telah menghasilkan senjata kimia, nuklir, dan bahkan senjata yang bersifat non-fisik, yang mungkin tidak dicakup dalam piagam PBB dan konvensi Jenewa yang dibuat 70 tahun lalu. (Rm Yos Bintoro)
Foto : Dok. pribadi
Comments